اللهم اجعل في قلبي نورا ، وفي سمعي نورا ، وفي بصري نورا ، وعن يميني نورا ، وعن شمالي نورا ، ومن بين يدي نورا ، ومن خلفي نورا ، ومن فوقي نورا ، ومن تحتي نورا ، واجعل لي نورا ، وأعظم لي نوراSelamat Datang Ke Suara Rakyat FM بِسْمِ اللَّهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ أَصْـبَحْنا وَأَصْـبَحَ المُـلْكُ لله وَالحَمدُ لله ، لا إلهَ إلاّ اللّهُ وَحدَهُ لا شَريكَ لهُ، لهُ المُـلكُ ولهُ الحَمْـد، وهُوَ على كلّ شَيءٍ قدير ، رَبِّ أسْـأَلُـكَ خَـيرَ ما في هـذا اليوم وَخَـيرَ ما بَعْـدَه ، وَأَعـوذُ بِكَ مِنْ شَـرِّ هـذا اليوم وَشَرِّ ما بَعْـدَه، رَبِّ أَعـوذُبِكَ مِنَ الْكَسَـلِ وَسـوءِ الْكِـبَر ، رَبِّ أَعـوذُبِكَ مِنْ عَـذابٍ في النّـارِ وَعَـذابٍ في القَـبْر ...بِسْمِ اللَّهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Tuesday, January 27, 2015

Hukum Meminta Izin Orang Tua Dalam Jihad Fardhu ‘Ain


hijrah


Oleh: Abu Abdillah Al Libi
Seseorang bertanya: “Apa hukum meminta izin kepada kedua orang tua untuk melaksanakan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain?

Jawab:

Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa hukum asal mentaati kedua orang tua adalah fardhu ‘ain dan hukum asal jihad adalah fardhu kifayah. Oleh karena itu didahulukan mentaati kedua orang tua jika keduanya melarang dari fardhu kifayah seperti jihad yang bukan fardhu ‘ain. Karena jika fardhu ‘ain dan fardhu kifayah saling bertentangan, didahulukan fardhu ‘ain karena mashlahatnya lebih besar dan berulang-ulang dengan berulang-ulangnya amal (yang fardhu ‘ain itu). Al Qarafi rahumahullah berkata di dalam Al Furuq (2/203): “Fardhu ‘ain didahulukan daripada fardhu kifayah, karena perintah untuk mengerjakan suata amalan atas seluruh orang itu pasti lebih kuat daripada atas sebagian orang saja. Dan karena fardhu kifayah didasarkan atas tidak terulangnya mashlahat dengan terulangnya amalan, sedangkan fardhu ‘ain didasarkan atas berulangnya mashlahat dengan berulangnya amalan. Dan suatu perbuatan yang mashlahatnya terus berulang dalam seluruh bentuknya (amalan tersebut -ed) mashlahat lebih kuat menyertainya daripada suatu perbuatan yang tidak ada mashlahat kecuali pada sebagian bentuknya.”
Demikianlah hukumnya dalam jihad fardhu kifayah. Pada konteks tersebut berlaku hadits-hadits berikut:
  1. 1. عن عَبْدِ اللَّهِ ابن مسعود قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي

Dari Ibnu Mas’ud berkata, aku bertanya kepada Rasulullah, “Amalan apakah yang paling dicintai Allah?”. Rasulullah menjawab, “Shalat pada waktunya”. Aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua”. Aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah”. Ibnu Mas’ud berkata, “Rasulullah menyampaikan ini kepadaku, dan seandainya aku meminta tambah niscaya Rasulullah akan menambahnya”. (Muttafaq ‘alaih)

2. عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash berkata, seorang lelaki mendatangi Rasulullah dan meminta ijin kepadanya untuk pergi jihad. Maka Rasulullah berkata, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”. Dia berkata,”Ya”. Rasulullah berkata, “Sungguh-sungguhlah untuk berbakti kepada keduanya”. (HR Bukhari, Nasa’i, Abu Dawud dan At Turmudzi dan dia mensahihkannya)

3. أن رجلا هاجر إلى النبي صلى الله عليه وسلم من اليمن، فقال: “هل لك أحد باليمن؟ ” فقال: أبواي، فقال: “أذنا لك؟ “، قال: لا، قال: “فارجع إليهما، فاستأذنهما، فإن أذنا لك فجاهد وإلا فبرهما

Ada seseorang yang datang dari Yaman untuk berhijrah kepada Rasulullah. Rasulullah bertanya, “Apakah kamu mempunyai keluarga di Yaman?” Dia menjawab, “Kedua orang tuaku.” Rasulullah bertanya, “Apakah mereka mengizinkanmu?” Dia menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “Pulanglah dan mintalah izin kepada keduanya. Jika mereka mengizinkanmu, maka boleh kamu berjihad. Namun jika tidak mengizinkan, maka berbaktilah kepada keduanya.” (HR. Abu Dawud)

4. عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi saw lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.” (HR Ahmad dan An Nasa’i)

Hadits-hadits tersebut berlaku ketika jihad masih dihukumi fardhu kifayah, namun jika jihad telah berubah menjadi fardhu ‘ain maka hukumnya berbeda dengan berubahnya bentuk (jihad tersebut). Demikianlah yang disepakati seluruh ahli ilmu.
Dengan demikian hukumnya menjadi sebagai berikut:

Meminta izin kepada kedua orang tua untuk melaksanakan jihad fardhu ‘ain tidaklah diperlukan apalagi wajib. Maka hal itu berarti jika salah satu dari keduanya melarangnya, si anak harus menolak. Karena perintah Allah untuk mentaati keduanya itu dalam hal yang ma’ruf. Jika keduanya memerintahkan kepada kemungkaran atau melarang dari kema’rufan, apalagi kema’rufan itu fardhu ‘ain atasnya, maka tidak perlu mentaati keduanya. Sebagaiman kaidah syar’i yang diambil dari hadits:

انما الطاعة فى المعروف

Hanya sanya ketaatan itu dalam hal ma’ruf saja (Muttafaq ‘alaih)
Muhammad Maulud berkata dalam nadzm Al Barud:
Jangan durhakai kedua orangtuamu sekalipun melarangmu dari berjihad
dengarlah dan taatilah
Namun tolaklah jika tidak ada seorangpun di negerimu yang berangkat
karena telah jadi fardhu ‘ain atasmu
Berikut beberapa pendapat para ulama dalam masalah ini:

Hanafiyah

1. Al Kasani berkata dalam Bada-i’ Ash Shana-i’ (7/98): “Adapun jika nafir telah menjadi umum dikarenakan musuh menyerang negeri, maka hukumnya berubah menjadi fardhu ‘ain atas setiap individu dari kaum muslimin yang mampu berdasarkan kalam Allah Ta’ala:

انفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat. (QS At Taubah 41)
Dikatakan bahwa ayat tersebut diturunkan dalam konteks nafir (berjihad -ed).
Karena kewajiban bagi semua manusia sebelum adanya keumuman tentang nafir, menjadi sesuatu yang tetep. Dengan adanya sekelompok orang yang melakoni, maka sebagian kewajiban menjadi dianulir bagi yang lainnya. Lalu apabila nafir telah menjadi umum, maka seluruhnya pun wajib untuk merealisasikannya. Dengan demikian, nafir menjadi kewajiban fardhu ‘ain untuk semuanya, tak ubahnya shaum dan shalat. Maka seorang hamba keluar berperang tanpa izin tuannya, dan seorang istri tanpa izin suaminya.

 Karena manfaat yang didapat dari seorang hamba dan istri dikecualikan dari kekuasaan tuan dan suami secara syar’i ketika melaksanakan ibadah-ibadah fardhu ‘ain seperti shaum dan shalat. Demikian juga diperbolehkan bagi seorang anak untuk keluar berperang tanpa izin kedua orang tuanya, karena hak kedua orang tua tidak tampak dalam kewajiban fardhu ‘ain seperti shaum dan shalat. Wallahu ta’ala a’lam.” Selesai dengan diringkas.
2. Az Zaila’i dalam Tabyin Al Haqa-iq Syarh Kanz Al Daqa-iq (3/241): “Demikian juga seorang anak keluar berperang tanpa izin kedua orang tuanya, sedangkan selain dalam nafir ‘am dia harus mendapat izin keduanya”.

Malikiyah

1. Di dalam An Nawadir wa Az Ziyadat (3/24) dinukil dari Imam Malik: “Adapun dalam nafir aam menghadai musuh yang menyerang maka seorang anak boleh keluar tanpa izin kedua orang tuanya. Karena ini adalah sebuah kewajiban, sedangkan kewajiban mentaati keduanya itu dalam hal nafilah”.
2. Al Qadhi ‘Abdul Wahhab berkata di Al Mu’awwanah (1/602): “Siapa saja yang kedua orang tuanya melarangnya berjihad maka hendaknya ia mematuhi keduanya. Kecuali jika kewajiban itu menjadi fardhu ‘ain atasnya seperti misalnya ketika musuh tiba-tiba menyerbu negerinya dan dia dibutuhkan untuk membela negerinya. Demikian juga ketika ia mewajibkan bagi dirinya sendiri untuk berjihad pada suatu waktu.

Yang demikian itu karena ketaatan kepada keduanya adalah fardhu ‘ain yang lebih utama daripada fardhu kifayah. Adapun jika fardhu kifayah itu berubah menjadi fardhu ‘ain maka dia tidak boleh mematuhi larangan kedua orang tuanya, karena pada dasarnya keduanya tidak boleh melarangnya sebagaimana keduanya tidak boleh melarangnya untuk melaksanakan shalat dan shaum”. Selesai secara ringkas

3. Ibnu Rusyd berkata di dalam Al Muqaddamat wa Al Mumahhadat (1/351): “Seorang anak tidak boleh berjihad tanpa izin orang tuanya, dan seorang hamba tidak boleh berjihad tanpa izin tuannya. Ini semua dalam nafilah (jihad fardhu kifayah -ed). Adapun dalam kewajiban yang fardhu ‘ain maka dia harus berperang sekalipun orang tuanya tidak mengizinkan. Karena dia harus mentaati orang tuanya jika keduanya melarangnya untuk melaksanakan suatu nafilah bukan dalam perkara yang wajib atasnya”.

4. Al Qurthubi berkata dalam tafsirnya: “Ada beberapa keadaan yang mengharuskan semua orang untuk nafir, yaitu yang keempat. Yaitu jika jihad menjadi fardhu ‘ain dikarenakan musuh merebut suatu daerah atau menguasai ibukota. Maka wajib bagi setiap penduduk negeri tersebut untuk keluar berjihad baik dalam keadaan lapang ataupun sempit, tua atau muda, baik dia mempunyai orang tua ataupun tanpa izin orang tuanya. Tidak boleh ada yang tertinggal. Semua sesuai kemampuannya, baik dia petempur atau hanya memperbanyak jumlah”.
5. Di dalam Al Fawaqih Ad Dawani Syarh Risalah Al Qairuwani (1/406): “Dikarenakan taat kepada kedua orang tua adalah fardhu ‘ain beliau berkata:

(وَلَا بُغْزَى)

Dengan bina lil majhul (maksudnya fa’il dari fi’il tersebut dihapus -ed), maksudnya si anak tidak boleh berjihad

(بِغَيْرِ إِذْنِ الأَبَوَبْنِ) tanpa izin kedua orang tua

Maksudnya yang dekat, jadi bukan kakek dan nenek. Karena hukum asal berjihad adalah fardhu kifayah, sedangkan taat kepada kedua orang tua adalah fardhu ‘ain.
Kemudian pensyarah berkata: Dikarenakan larangan berperang tanpa izin orang tua itu pada jihad fardhu kifayah maka beliau berkata:

(إِِِلَّا أَنْ يَفْجَأَ الْعَدُوُّ) kecuali jika musuh menyerang tiba-tiba

Maksudnya tanpa menginvasi suatu negeri (sekedar berkumpul di luar tapal batas -ed)

مَدِيْنَةَ قَوْمٍ وَيَغِيْرُوْنَ عَلَيْهِمْ فَفَرَضَ عَلَيْهِمْ) negeri suatu kaum dan menyerbu mereka, maka wajib atas mereka

Yaitu wajib atas seluruh penduduk kota tersebut

(دَفْعَهُمْ) menghentikannya

Yaitu musuh tersebut
Dan tidak wajib meminta izin kepada kedua orang tua dalam keadaan yang seperti ini, tidak pula para suami dan tuan-tuan”. Selesai secara ringkas.
6. Di dalam Taj Al Iklil Syarkh Mukhtashar Khalil (4/541): “Sahnun berkata: “Saya amat suka kepada seorang anak yang mempunyai orang tua untuk meminta izin kepadanya jika pergi berjihad. Kecuali jika musuh telah sampai pada suatu tempat sedangkan tidak cukup personel untuk menghentikannya. Maka ketika itu dia boleh pergi berjihad tanpa izin keduanya. Sekalipun medan pertempuran itu jauh dari negerinya namun tidak ada yang mampu menghadang musuh atau bala bantuan masih jauh, maka ketika itu dia boleh pergi tanpa izin kedua orang tuanya”.

Syafi’iyah

1. Asy Syairazi berkata di dalam Al Muhadzzab (3/270): “Jika musuh menguasai mereka maka kewajiban jihad menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Seseorang boleh keluar tanpa izin pemberi hutang atau orang tuanya. Karena jika dalam keadaan seperti itu jihad ditinggalkan maka semuanya akan binasa, sehingga jihad didahulukan daripada hak pemberi utang dan orang tua”.

2. An Nawawi menyebutkan di dalam Raudhah Ath Thalibin (10/214) macam-macam jihad: “Yang kedua; yaitu jihad fardhu ‘ain. Yaitu jika orang kafir menginjak tanah negeri kaum muslimin, atau mendominasinya, atau mendekati gerbangnya walaupun tidak menyerbu masuk. Maka pada saat itu jihad menjadi fardhu ‘ain dengan rincian yang akan kami jelaskan, insya Allah. Menurut Ibnu Abi Hurarirah, dalam kondisi tersebut jihad tetap fardhu kifayah. Akan tetapi yang betul adalah yang pertama (fardhu ‘ain -ed). Maka setiap penduduk negeri itu wajib membendung serbuan musuh dengan segala cara yang mereka mampu”.
Kemudian beliau berkata: “Pada macam ini tidak perlu meminta izin orang tua atau pemberi utang”. Selesai secara ringkas.

Hanabilah

1. Di dalam Al Mughni (9/209): “Jika telah wajib atasnya jihad maka izin orang tua tidak diperlukan. Karena jihad telah menjadi fardhu ‘ain dan meninggalkannya berarti maksiat. Tidak ada ketaatan kepada siapapun dalam bermaksiat kepada Allah”.

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa Al Kubro (4/609) berkata: “Jika musuh menginvasi negeri-negeri islam tidak diragukan lagi penduduk yang terdekat dengannya harus membendung serbuan itu. Karena negeri-negeri islam kedudukannya adalah laksana satu negeri. Wajib keluar berjihad tanpa harus meminta izin orang tua atau pemberi hutang. Perkataan Imam Ahmad jelas dalam hal itu”.

Semua perkataan di atas menunjukkan bahwa tidak disyaratkan izin kedua orang tua dan tidak perlu mentaatinya jika keduanya melarang dari melaksanakan kewajiban jihad fardhu ‘ain. Sudah menjadi fakta bahwa jihad pada masa kini telah menjadi fardhu ‘ain. Maka hukum diatas kembali berlaku. Karena orang-orang kafir telah menginvasi dan merampas negeri-negeri kaum muslimin. Dimulai dari Palestina, kemudian Afghanista, lalu Irak, Somalia dan lain sebagainya.

Ditambah lagi antek-antek mereka, para rezim dan tentaranya yang murtad, telah menguasai dan mengontrol kaum muslimin dengan penuh kedzaliman dan melampaui batas. Maka mereka sama statusnya seperti musuh luar yang menginvasi. Mereka harus diusir. Negeri yang mereka kuasai harus dibebaskan. Menjihadi mereka adalah sebesar-besar taqarrub kepada Allah. Maka para orang tua tidak boleh melarang, bahkan harus menyemangati dan mendorong putra-putranya untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Jika mereka melarang maka sesungguhnya mereka telah memerintahkan yang mungkar dan melarang dari yang ma’ruf. Allahul musta’an.

Saya (penulis -ed) nukilkan di sini paragraf-paragraf bermakna hasil goresan Syaikh Yusuf Al ‘Uyairi dalam risalahnya Idha-at fie Thariqil Jihad (Petunjuk Praktis Menjadi Mujahid)
“Wahai para orang tua: Sesungguhnya Islam di seluruh dunia pada hari ini tengah menghadapi serangan kaum Salib yang bersekutu dengan kaum Yahudi. Dan serangan ini ditujukan kepada Islam dan para penganutnya, berupa pembunuhan, pengusiran dan pelecehan terhadap harga diri.
Sedangkan umat ini tidak mungkin dapat keluar dari keadaan yang menyedihkan ini, dan keluar dari kehinaan ini kecuali melalui tangan-tangan para pemuda dan rijalnya, tatkala mereka mengangkat bendera jihad dan mengerahkan jiwa mereka dan segala apa yang mereka miliki untuk mempertahankan agama ini. Jika ini terjadi maka kita akan menguasai kembali seluruh dunia ini sebagaimana dahhulu para pendahulu kita telah menguasainya.

Oleh karena itu hendaknya setiap bapak dan ibu mengetahui bahwasanya tanggung jawab mereka untuk membela agama ini sangatlah besar. Sehingga mereka wajib untuk berjihad dengan anak mereka, harta dan lisan mereka supaya Islam menang dan umat ini jaya. Akan tetap sangat disayangkan, kami telah tunggu-tunggu kalian supaya menjadi orang yang pertama kali mempersembahkan anaknya untuk agama ini, namun ternyata kalian malah orang yang pertama kali menghalangi anak-anaknya untuk berjihad mempertahankan agama ini. Ketahulilah wahai para orang tua, bahwasanya Allah ta’ala tidaklah memberikan nilai sedikitpun pada perintah kalian jika perintah itu menyelisihi perintah-Nya.

 Karena taat kepada kalian itu hukumnya wajib dalam hal kebaikan dan ketaatan kepada Allah, adapun jika dalam bermaksiat kepada Allah maka tidak ada kata taat untuk kalian. Dan ketaatan kepada kalian itu lebih diutamakan selama tidak berseberangan dengan ketaatan kepada ALlah, sehingga apabila ketaatan kepada kalian itu berseberangan dengan ketaatan kepada Allah maka ketaatan kepada kalian itu tidak perlu dihiraukan lagi dan tidak perlu diikuti. Di sini akan saya sampaikan kepada kalian secara detail tentang hukum taat kepada kalian supaya kalian tahu bahwa kalian itu berada di antara dua hal:

Pertama: Kalian relakan anak-anak kalian untuk berjihad, dan kalian berikan dorongan serta motivasi kepada mereka, niscaya kalian akan mendapatkan pahala mereka.

Kedua: Kalian halangi mereka untuk berjihad di jalan Allah, maka kalian akan mendapatkan dosa dan kalian tidak berhak lagi untuk ditaati. Dan yang paling baik bagi kalian adalah hendaknya kalian menjadi golongan yang pertama, sehingga kalian menyerahkan anak-anak kalian kepada jihad dengan lapang dada dalam rangka taat kepada Allah. Karena sesungguhnya kalian akan bertemu dengan suatu hari dimana pada saat itu tidak ada lagi gunanya harta dan anak, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih”
.
Kemudian beliau berkata: “Inilah hukum taat kepada kalian berdua wahai orang tua, jika ketaatan kepada kalian itu berseberangan dengan ketaatan kepada Allah, dan ketaatan kepada kalian dalam melaksanakan perintah Allah, tidak ada ketaatan untuk kalian berdua dan tidak perlu meminta pertimbangan kepada kalian berdua dalam perkara-perkara yang hukumnya fardhu ‘ain.

 Persetujuan atau penolakan kalian berdua tidak dapat mengajukan atau memundurkan pengamalannya. Akan tetapi persetujuan kalian itu lebih baik dan merupakan kemuliaan bagi kalian di sisi Allah, sedangkan penolakan kalian akan membuhakan murka Allah dan siksa-Nya, wal ‘iyadzu billah.

Atau mungkin kalian ragu-ragu, apakah jihad pada hari ini hukumnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah. Maka untuk mengusir keraguan dengan keyakinan, saya akan menyampaikan secara ringkas pendapat para ulama dan juga akan saya sampaikan ijma’ para ulama dan kesepakatan empat madzhab ahlus sunnah atas fardhu ‘ainnya jihad ketika dalam keadaan seperti apa yang kita alami pada hari ini.

Sebelum saya sampaikan ijma’ tersebut, saya ingin menjelaskan kepada kalian berdua manakah negeri islam yang diserang oleh musuh. Saya katakan: Sesungguhnya negara manapun yang pernah berkibar di sana bendera Islam, dan tentara islam pernah menaklukkannya lalu menjalakan hukum islam di sana dalam suatu hari atau suatu tahun atau suatu abad maka negara tersebut terhitung sebagai Darul Islam, oleh karena itu apabila musuh menyerangnya dan merubah hukum-hukumnya lalu mengaturnya dengan hukum kafir, sehingga negara tersebut berubah dari Darul Islam menjadi Darul Kufr, ketika itulah negara tersebut kita hitung sebagai wilayah islam yang diserang musuh dan kewajiban kaum muslimin adalah berjihad untuk melawan musuh untuk mengambil kembali negara tersebut dari tangan musuh.

Dan di sini saya sebutkan kepada kalian berdua negara-negara yang keadaannya sesuai dengan apa yang saya katakan tersebut. Pertama adalah Andalusia, kemudian Palestina, negara-negara Balkan, Kaukasus, negara-negara di seberang sungai (bekas jajahan Uni Soviet), sejumlah negara di Asia Timur, Eritrea, Somalia, Iran, Lebanon, Suriah, bagian barat Cina dan masih banyak lagi yang akan sangat panjang jika kita sebutkan semua, yang semua itu sesuai jika dikatakan musuh telah menguasainya dan merubahnya dari negara Islam menjadi negara kafir. Dan di sini saya kan menyampaikan hukum jihad pada hari ini berdasarkan kondisi tersebut,

Para ulama telah berijma’ bahwasanya salah satu kondisi yang menjadikan jihad dihukumi fardhu ‘ain adalah apabila musuh memasuki negeri-negeri islam, ketika itu jihad dihukumi fardhu ‘ain. Sehingga tidak boleh seorangpun absen dari jihad, yang mana sebelumnya dihukumi fardhu kifayah. Ijma’ tentang ini telah dinukil oleh semua fuqoha dari berbagai madzhab. Padahal musuh telah memasuki negeri-negeri Islam sejak berabad-abad lalu sehingga jihad dihukumi fardhu ‘ain, dan tidak ada lagi kewajiban izin kepada kedua orang tua dalam masalah ini.

Terakhir kami sampaikan, wahai para orang tua yang mulia, bahwasanya jihad itu hukumnya fardhu ‘ain dan tidak ada lagi kewajiban untuk ijin kepada kalian, karena haram hukumnya mentaati kalian dalam bermaksiat kepada Allah. Wahai para orang tua, mengapakah kalian tidak jawab pertanyaanku:

 Lihatlah Palestina, telah dikuasai musuh dan tidak ada seorangpun yang dapat melawan mereka baik orang yang berada di dekatnya atau yang jauh darinya, lalu apakah jihad hari ini hukumnya fardhu kifayah? Begitu pula Andalusia telah dikuasai oleh musuh sejak berabad-abad yang lalu, demikian pula Chechnya, Kashmir, Filipina, Birma, Eritrea dan masih banyak lagi tanah kaum muslimin lainnya.

 Seluruhnya dikuasai oleh musuh. Ajaran islam dihilangkan. Kaum muslimin dihinakan, ditindas, dan disiksa dengan berbagai macam siksaan. Sampai akhirnya serangan Salibis terbaru dilancarkan terhadap Afghanistan. Apakah setelah itu tetap akan kita katakan bahwa jihad hukumnya fardhu kifayah dan taat kepada kalian untuk tetap tidak berangkat berjihad itu lebih wajib daripada berjihad itu sendiri? Sungguh kami telah berbicara maksimal sampai akhirnya kami merasakan kehinaan yang maksimal pula”. Selesai secara ringkas.
Wallahu a’lam
Ditulis oleh
Abu Abdillah Al Libi
Selasa 9 Rabu’ul Awwal 1436 H
29/12/2014
Jangan lupakan kami dalam doa antum sekalian, semoga kita dimudahkan untuk berhijrah menuju bumi khilafah

No comments:

Post a Comment